SERANG/POSPUBLIK.CO – DPRD Provinsi Banten mengkritisi janji politik Gubernur Banten Wahidin Halim dan Wakil Gubernur Andika Hazrumy yang belum mencapai target memasuki tiga tahun kepemimpinannya. Salah satu janji prioritasnya yakni di bidang pendidikan.
Anggota Komisi V DPRD Banten Furtasan Ali Yusuf mengatakan, seperti yang tertuang dalam RPJMD 2017-2022, salah satu fokus dalam RPJMD itu adalah meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan berkualitas melalui pembangunan 2.016 ruangan kelas baru (RKB), dan 168 unit sekolah baru (USB) jenjang SMA/SMK, serta peningkatan kompetensi guru dan peningkatan kesejahteraan guru.
“Saya mah pesimis sampai beliau (Wahidin Halim) berakhir menjabat 2022 semuanya bisa terkejar, makanya kalau perlu di revisi lah target-target RPJMD-nya, apalagi sekarang ada pandemi corona,” katanya kepada awak media saat ditemui di SDIT Bina Bangsa, Kota Serang, Jum’at (21/8/2020).
Politisi Nasdem itu menanggapi, pembangunan sekolah yang ditargetkan dalam RPJMD tidak semudah yang dibayangkan karena mulai dari proses pembebasan lahan hingga sarana prasarana sekolah bisa menelan pembiayaan yang cukup besar.
“Nah sekarang 2021 sudah berapa target yang sudah tercapai?, bayangkan bikin sekolah baru satu unit saja pengadaan lahanya berapa miliar, belum bangunanya, belum sarana dan prasarananya, belum lagi gaji gurunya, dalam satu sekolah itu ada berapa guru?, itu harus terus-terusan dibangun.” Tegasnya.
Selain itu, Furtasan mengakui ada perbedaan yang luar bisa dalam besaran Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDa) pada sekolah negeri dan sekolah swasta yang menimbulkan ketidakadilan.
“Kan negeri sudah tercover sama Pemprov melalui BOSDa Rp 3,5 juta per siswa, ditambah BOSNAS, sehingga kurang lebih Rp 5,5 juta. Sementara sekolah swasta per kepala hanya Rp 500 ribu. Artinya kalau disandingkan tidak bisa. Kebijakan ini perlu ditinjau, karena waktu kampanye pendidikan gratis. Harus diperjelas pendidikan gratis ini untuk siapa. Untuk warga Banten kan?, bukan untuk sekolah negeri saja. Jadi kalau janji politiknya pendidikan gratis maka warga Banten melihatnya,” ungkapnya.
Rektor Universitas Bina Bangsa itu menegaskan, kehadiran sekolah swasta muncul karena pemerintah belum mampu menyelenggarakan pendidikan secara mendiri, namun pemerintah tidak pernah berpikir untuk membantu pendidikan di sektor swasta.
“Pemerintah kurang adil. Itu artinya sama saja tidak memberikan kesempatan kepada sekolah swasta untuk berkembang. Ada dua hal yang membuat orang pengen ke negeri, pertama karena status ke-negeriannya. Kedua karena gratisnya. Jadi sebenarnya sekolah negeri sudah punya 2 point tersbeut,” terangnya.
Jika sekolah negeri tidak dilabeli gratis, sambung Furtasan, sekolah Swasta masih bisa bersaing dengan catatan negeri itu harus mengisi kuota siswa yang ada sesuai standarnya, jangan sampe melebihi. Faktanya di lapangan banyak yang melebihi. Seharusnya yang tidak tertampung biar sendirinya secara alami ke sekolah swasta sehingga swasta terbantu.
“Saya juga waktu itu mendorong Pemprov Banten tidak perlu membuat unit sekolah baru. Cukup berdayakan sekolah swasta yang ada di daerah tersebut. Jadi tidak ada pengadaan tanah, pengadaan gedung, sarana prasarana, pengadaan guru dan lain sebagainya. Cukup dorong swasta dengan memberikan sedikit saja bantuan operasionalnya. Itu sudah jalan,” tutupnya. (Moch)